Film Menjadi Sektor Strategis Pertahanan Budaya
Anggota Komisi X DPR Nuroji menegaskan, film merupakan sektor strategis bagi Indonesia untuk pertahanan budaya. Sehingga ia khawatir, jika Daftar Negatif Investasi untuk film dibuka, yang berarti asing juga dapat masuk ke sektor perfilman Indonesia, hal ini akan berakibat pada ikut masuknya film-film asing yang tak mencerminkan budaya Tanah Air.
“Dengan dibukanya modal asing, dan gencarnya film asing yang masuk, maka budaya kita yang akan kalah. Kalau modalnya dari asing, tentu dia akan mendikte juga produknya. Tidak ada film lokal, karena tidak diproduksi. Kita akan kehilangan ketahanan budaya kita,” khawatir Nuroji, saat RDP dengan Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), di Gedung Nusantara I DPR RI, Senayan, Senin (15/02/2016).
Nuroji mengaku tidak mengerti dengan logika yang disampaikan Aprofi yang mengatakan bahwa dengan dibukanya DNI Film, maka semakin banyak film Indonesia berkualitas dan film budaya yang dapat diproduksi. Ia khawatir, justru dengan gempuran asing itu, film lokal akan semakin sulit berkembang.
“Dengan dibukanya DNI, maka film asing, tenaga asing, distributor asing akan masuk. Kok Aprofi mengatakan malah bisa menumbuhkan pasar lokal, dimana logikanya. Dengan tidak dibukanya film asing atau modal asing saja, sudah tidak ada pasar untuk film lokal. Bagaimana jika ada asing, maka film lokal semakin tidak ada pasar. Dimana logikanya,” kata Nuroji sambil mengernyitkan dahi.
Politisi F-Gerindra itu menilai, matinya pasar film lokal diakibatkan karena praktek monopoli bioskop. Selama ini, peredaran bioskop ini hanya dimonopoli oleh satu perusahaan. Hal itu yang itu yang diprotes masyarakat, sehingga muncullah UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Namun, walaupun UU itu telah ada, praktek monopoli masih tetap berlangsung.
“Jadi, sekarang itu sebetulnya tidak perlu dibuka DNI. Cukup dipraktekkan saja UU itu, sehingga diharapkan bisa menyelesaikan sebagian permasalahan perfilman,” saran politisi asal dapil Jawa Barat itu.
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR Dadang Rusdiana, mengatakan memang saat ini Indonesia dihadapkan pada pilihan untuk membuka atau menutup DNI untuk sektor film. Ia menjelaskan, saat ini Indonesia baru memiliki 1117 bioskop di seluruh Indonesia, dan itupun terpusat di Pulau Jawa, dan sebanyak 32 persennya ada di Jakarta. Hal ini menyulitkan bagi masyarakat pedesaan untuk menikmati film-film nasional, maupun film impor di bioskop.
“Tapi jika itu dibuka investasinya, apakah orang asing mau bangun bioskop hingga ke pelosok desa. Tentu mereka punya perhitungan komersial,” nilai politisi F-Hanura itu.
Dadang menambahkan, memang permasalahan DNI ini masih menjadi pro kontra. Pasalnya, ada kekhawatiran, jika investasi asing masuk, juga akan berpengaruh terhadap konten film.
“Ada juga yang berpendapat, asing tidak akan masuk terhadap konten. Karena asing akan mengangkat budaya lokal yang laku di negara barat,” imbuh politisi asal dapil Jawa Barat itu.
Sementara itu sebelumnya, Ketua Aprofi, Sheila Timothy mengatakan, jika DNI film dibuka, maka akan meningkatkan kapasitas pasar dan kebutuhan terhadap film lokal. Selain itu, dengan pembukaan pasar itu, bukan hanya kemudahan permodalan, tapi juga penciptaan pasar baru.
“Melalui ko-produksi aka nada transfer ilmu dan transfer teknologi, sehingga menciptakan tenaga kerja kreatif yang handal. Juga semakin banyak film Indonesia berkualitas dan film budaya yang dapat diproduksi,” kata Sheila. (sf,nt)/foto:azka/parle/iw.